Media Sosial dalam Perspektif Islam


Suatu waktu, terjadi diskusi yang sangat alot dikalangan mahasiswa tentang fatwa pengharaman facebook sebagai jaringan social online oleh Majelis Ulama Indonesia. Fatwa ini bisa dikatakan sama kontroversialnya dengan fatwa bahwa rokok diharamkan. Pro dan kontra pun terjadi terhadap fatwa ini. golongan pro berpikir secara teleologis bahwa berdasarkan fakta di Indonesia,  keberadaan facebook membuat angka perceraian akibat selingkuh semakin tinggi, selain itu terjadi banyak penculikan dan praktek-praktek asusila yang diawali dari penggunaan facebook. Sedangkan dari kelompok kontra berpikiran secara deontologis bahwa memang teknologi disamping memberikan nilai positif tentu disisi lain juga memberikan pengaruh negative, namun pada dasarnya facebook hanya sebagai alat sedangkan apapun hasilnya itu semua kembali kepada diri (user) masing-masing. Dalam diskusi tersebut terjadi pula upaya generalisir bahwa semua media social diharamkan dalam islam, meskipun hal ini tentunya masih tetap didiskusikan dengan “panas” dalam forum tersebut.
Pernyataan bahwa media social diharamkan dalam islam merupakan sebuah pertanyaan yang sangat disayangkan dan kurang bijak. Sebelum mengutarakan sesuatu hal itu halal atau haram maka sangatlah dibutuhkan
dalil naqli dan dalil aqli serta perpaduan keduanya yang kuat dalam mendukung pernyataan tersebut. Dalil naqli adalah dalil yang berdasarkan alquran dan hadits, dalil aqli adalah dalil yang berdasarkan “akal sehat” sedangkan perpaduan antar keduanya seperti ijtihad dan qiyas. Dalam perpaduan antar keduanya ini salah satu hal yang paling utama diketahui adalah definisi. Sebelum media social dijustifikasi, selayaknya diketahui terlebih dahulu apa definisinya secara etimologi dan terminology. Berdasarkan definisi tersebut, kemudian hal tersebut dikaitkan dengan apa yang tercantum dalam al-Quran dan hadits.
Media secara etimologi berasal dari bahasa yunani yang mempunyai arti perantara atau pengantar. KBBI mengartikan media sebagai alat; alat komunikasi; yang terletak diantara dua pihak. Dalam ilmu komunikasi, media biasa diartikan sebagai saluran; sarana penghubung; alat-alat komunikasi. Fakultas Sastra UI mengartikan media sebagai alat teknis yang digunakan untuk melakukan mediasi atau menyampaikan pesan; dengan kata lain, media merupakan alat komunikasi. Sedangkan Sosial secara etimologi berasal dari  bahasa latin Socius yang artinya berkawan atau bermasyarakat. KBBI mengartikan sebagai Sesuatu yang berkenaan dengan masyarakat; suka memperhatikan kepentingan umum. Secara sederhana, dapat kita simpulkan bahwa Media Sosial adalah perantara dalam bermasyarakat; alat komunikasi dalam bermasyarakat; alat teknis yang digunakan untuk melakukan mediasi atau menyampaikan pesan dalam bermasyarakat. Namun Wikipedia mengartikan media social merupakan sebuah media online, dengan para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi meliputi blog, jejaring social, wiki, forum, dan dunia virtual.
Jika melihat kedua definisi media social antara Wikipedia dan pengertian sederhana berdasarkan paduan kata, maka jelas terlihat bahwa Wikipedia mendefinisikannya secara sempit sedangkan yang lainnya mendefinisikannya secara luas. Ketika menggunakan definisi secara sempit, maka akan susah menemukan ayat-ayat al-Quran maupun hadits yang secara tekstual berkenaan dengan media social. Namun ketika menggunakan definisi media social secara umum, maka dengan sangat mudah dan banyak kita temukan ayat-ayat al-Quran  maupun hadits yang menyebutkan dan membicarakan media social baik secara tekstual maupun kontekstual.
Sosial (hablumminannas) merupakan salah satu ajaran islam yang sangat diperhatikan dan ditekankan karena lebih kompleks dan komprehensif. Sangat tidak heran ketika Rasulullah bersabda bahwa beliau diutus ke muka bumi ini untuk menyempurnakan akhlak (salah satunya akhlak dalam interaksi sosial) manusia. Dan juga dapat kita lihat betapa islam melarang umatnya untuk memutuskan hubungan social sebagaimana dalam haditsnya yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, yakni Rasulullah bersabda bahwa tidak masuk surga bagi orang yang memutuskan silaturahim.
Terkait media social sendiri, salah satu ayat dari banyak ayat yang sering digunakan adalah Surat Al-Hujurat ayat 13, yang artinya “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Diriwayatkan oleh Abu Daud mengenai turunnya ayat ini yaitu tentang peristiwa seorang sahabat yang bernama Abu Hindin yang biasa berkhidmat kepada Nabi untuk mengeluarkan darah kotor dari kepalanya dengan pembekam, yang bentuknya seperti tanduk. Rasulullah saw menyuruh kabilah Bani Bayadah agar menikahkan Abu Hindin dengan seorang wanita di kalangan mereka. Mereka bertanya: "Apakah patut kami mengawinkan gadis-gadis kami dengan budak-budak?". Maka Allah menurunkan ayat ini, agar kita tidak mencemoohkan seseorang karena memandang rendah kedudukannya. Kebiasaan manusia memandang kemuliaan itu selalu ada sangkut pautnya dengan kebangsaan dan kekayaan, padahal menurut pandangan Allah orang yang paling mulia itu adalah orang yang paling takwa kepada Nya.
Dalam hadits yang menceritakan asbabun nuzul dari surat al-hujurat ayat 13 ini, dapat dilihat bahwa rasulullah menjadikan perkawinan sebagai media social, dimana perkawinan tersebut menjadi media atau perantara dalam menjalin hubungan antara dua golongan masyarakat yang “berbeda”, dimana Abu Hindin yang seorang budak dinikahkan dengan Gadis kabilah Bani Bayadah yang merdeka. Contoh ini merupakan sebuah persetujuan dari Rasulullah terhadap adanya media social. Dengan adanya media social, maka perbedaan-perbedaan yang ada di masyarakat sebagaimana disebutkan dalam surat al-Hujurat ayat 13 dapat berbaur, bersatu dan menciptakan kesejahteraan dan kemaslahatan bersama.
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.” Potongan ayat tersebut kaitannya dengan media social dapat pula diartikan sebagai penekanan dan penegasan bahwa dalam berinteraksi social tetap harus disertai dengan ketaqwaan. Taqwa ini disini menjadi etika, aturan, batasan, dan prinsip praktek-praktek berinteraksi social. Sehingga upaya-upaya memediasi perbedaan social senantiasa disertai dengan ketaqwaan.
Terkait dampak yang ditimbulkan oleh media social yang terkadang positif dan juga negative, berdasarkan dalil di atas maka yang menentukan baik tidaknya media social yang dilakukan bukanlah berdasarkan hasilnya apakah positif atau negative melainkan berdasarkan proses dan praktek pelaksanaannya yang menggunakan ketaqwaan atau tidak. Dengan demikian, jika yang dipermasalahkan adalah prosesnya, maka secara langsung yang dipermasalahkan adalah subjek atau pelaku yang melakukan proses tersebut yang menjadi faktor penentu sesuatu itu baik atau tidak.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa media social dihalalkan atau dibolehkan dalam islam, namun tetap dalam prakteknya harus disertai dan didasari oleh ketaqwaan yang dalam hal ini harus dilakukan oleh subjek media sosial. Hal ini pun dapat dikaitkan dengan media social menurut definisi Wikipedia. Wallahu a’lam bisshawab

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Reflexion Time : Setelah Setahun Bekerja

Touring Sulawesi Selatan (Part 1)

Goes To Bali & Lombok | It's Started