Sebuah Cita-Cita

“Cita-citamu apa nak?”,  “Dokter!”,  Jawab si anak tegas terhadap pertanyaan si ibu. “nanti kalo sudah jadi dokter, maunya jadi dokter di desa ini atau di kota?”, “di kota lah bu!”, kembali si anak menjawab dengan tegas. “kenapa?” Tanya si ibu karena penasaran. “ya karena di kota lebih keren!” Jawab si anak kembali tanpa ragu.
Di atas tadi cuplikan dialog antara si ibu dengan si anak terkait cita-cita. Cuplikan itu menggambarkan pola pikir dari sebagian besar generasi muda di Indonesia. Sebagian besar generasi muda telah berani memiliki cita-cita. Ini merupakan suatu hal yang sangat positif dan potensial bagi kemajuan bangsa Indonesia di masa mendatang. Beragam cita-cita yang mereka miliki, ada yang mau menjadi presiden, menjadi dokter, guru, tentara, pilot atau pengusaha kaya. Cita-cita mereka tersebut, dapat dikategorikan merupakan cita-cita besar dan berpotensi mengubah nasib suatu bangsa. Alhamdulillah faktanya sangat sedikit generasi muda yang bercita-cita untuk menjadi tukang becak, tukang pijit dan tukang-tukang lainnya yang notabene dapat dikategorikan sebagai cita-cita yang kurang potensif untuk mengubah nasib suatu bangsa.

Namun sangat disayangkan, ada kecenderungan penentuan cita-cita oleh generasi muda saat ini tidak diikuti oleh pemahaman dasar atau esensi dari sebuah posisi atau cita-cita yang diinginkan. Dalam cuplikan dialog diatas misalnya, terdapat pertanyaan dari si ibu, apakah si anak ketika jadi  dokter akan kembali ke kampungnya untuk mengabdikan kemampuannya di desa atau tidak kembali ke kampungnya dan menjadi dokter di kota. Lalu dijawab dengan tegas oleh si anak akan jadi dokter di kota dengan alasannya. Ketika seorang anak memahami dasar dan fungsi dari posisi cita-citanya sebagai dokter, maka kemungkinan besar dia akan memilih untuk kembali ke kampung untuk mengabdikan kemapuan pengobatannya. Karena di desa, belum ada dokter umum atau ahli yang lulusan sarjana apalagi dokter spesialis, meskipun ada, mungkin hanya beberapa dan tidak lebih dari jumlah pasien yang tiap hari datang ke rumah sakit. Sebagian besar tenaga medis di pedesaan hanya berupa bidan, mantri dan mayoritas hanya perawat tamatan Akademi Keperawatan. Sedangkan di kota, sudah pasti banyak dokter. Tiap rumah sakit hampir semuanya telah memiliki dokter yang lebih dari sepuluh, dan di perkotaan banyak terlihat tempat-tempat praktek yang dibuka oleh para dokter.
Contoh lain, cukup banyak generasi muda yang berasal dari daerah kemudian belajar dan kuliah di kota bercita-cita ingin menjadi guru. Benar-benar sebuah cita-cita yang sangat mulia. Namun sayangnya, ketika lulus, kemudian ada penetapan tugas sebagai guru di suatu daerah, maka secara frontal dan nyata sebagian besar guru yang ditugaskan di daerah terpencil memohon dan meminta untuk dipindahtugaskan ke kota atau ke tempat yang lebih baik keadaannya. Bahkan ada beberapa guru yang sampai rela mengeluarkan dana segar yang tentunya bernilai sangat besar, hanya sekedar untuk memastikan pemindahan tugas tersebut. Hal ini sungguh ironi dan sangat disayangkan di Negara Indonesia ini. selain kasus semacam ini, masih banyak lagi realitas-realitas lain yang merepresentasikan pola pikir buruk ini yang hampir sudah menjadi budaya bangsa Indonesia.
Secara sederhananya, dapat dikatakan bahwa  ketika sebuah cita-cita diiringi dengan pemahaman dasar akan peran cita-citanya dan juga diiringi kemampuan menganalisis lokasi dimana lebih besar potensi kebermanfaatannya cita-cita tersebut, maka generasi muda akan betul-betul dapat membawa bangsa Indonesia mengalami kemajuan.
Lalu pertanyaannya, mengapa pola pikir ini dapat terbentuk di kalangan generasi muda. Permasalahan semacam ini tidak bisa hanya mengambing-hitamkan pihak individu yang memiliki cita-cita. Permasalahan ini merupakan akibat yang timbul sebagai dampak sistemik dari berbagai sudut pandang dan permasalahan yang ada di Indonesia. Dari sudut pemerintahan Indonesia saja, utamanya dalam pemerataan daerah dapat dilihat dengan jelas realisasi upaya pemerataan pembangunan fasilitas, sarana dan prasarana umum di daerah terpencil sangat minim bahkan kadang tidak ada. Selain itu, kecenderungan pemerintah yang lebih mengalokasikan dana di perkotaan apalagi yang kota perindustrian, menyebabkan daerah-daerah pertanian menjadi terkesan terabaikan. Padahal mayoritas rakyat Indonesia adalah petani. Budaya suap-menyuap, korupsi, kolusi, dan nepotisme juga menjadi penyebab timbulnya pola pikir semacam ini. sebenarnya hampir semua bidang, baik politik, budaya, social, ekonomi atau pendidikan memiliki kontribusi proporsi dalam mendukung terbentuknya pola pikir yang kurang benar terkait cita-cita.
Pada dasarnya, solusi yang paling efektif dalam melakukan sebuah perubahan pola pikir ini adalah konsep 3M yang pernah dipaparkan oleh Abdullah Gymnastiar dalam ceramahnya, yaitu Mulai dari diri sendiri, Mulai dari yang kecil, dan Mulai dari sekarang. Memiliki pemikiran perubahan itu sangat baik, namun sangat lebih baik lagi jika pemikiran perubahan itu dapat direalisasikan dan diimplementasikan minimal oleh si pemilik pemikiran tersebut. Amin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Reflexion Time : Setelah Setahun Bekerja

Touring Sulawesi Selatan (Part 1)

Goes To Bali & Lombok | It's Started