Sikap Terbaik


sumber : sovira12.wordpress.com

Dalam tulisan sebelumnya, saya pernah menyinggung tentang pentingnya kebijaksanaan dalam upaya menentukan sikap dan posisi guna memberikan kebermanfaatan bagi orang lain. Lalu pertanyaan selanjutnya posisi seperti apakah yang benar? Etika seperti apakah yang harus dilakukan sebagai upaya penyikapan?
Dalam pembahasan sikap terbaik atau pun etika yang harus dilakukan pun terdapat perbedaan pandangan. Sebelum beranjak ke perbedaan tersebut, alangkah baiknya kita mengetahui dulu sesuatu yang akan kita bahas, yaitu etika. Etika dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral. Secara umum etika terkait dengan permasalahan sesuatu yang baik dan yang buruk.

Nah, sikap yang baik guna bermanfaat kepada orang lain itu yang seperti apa? Sedangkan sikap yang buruk yang dapat menimbulkan mudharat bagi orang lain itu yang seperti apa?


Dalam permasalahan etika, terdapat dua pandangan yang cukup fenomenal. Yaitu subjektivisme etika dan objektivisme etika. Perdebatan antara dua pandangan ini salah satunya terjadi antara Asy’ariyah dan Mu’tazilah (Hourani, 1985)

Subjektivisme etika merupakan pemikiran yang mengatakan bahwa etika itu bersifat subjektif, artinya bisa bermakna dengan adanya subjek, dalam hal ini adalah Allah. Satu-satunya tujuan bertindak moral adalah mematuhi Allah. Dalam artian, sikap yang baik adalah sikap yang dilakukan dalam rangka mematuhi Allah (Oliver Leaman, 1999). Sedangkan sikap yang dilakukan dalam rangka menyimpang dari perintah Allah disebut dengan sikap yang tidak baik atau amoral. Pandangan ini digunakan oleh Asy’ariyah dalam hal teologi.

Sedangkan Mu’tazilah menggunakan pandangan objektivisme etika. Pandangan ini berpendapat bahwa semua perintah Allah adalah benar adanya, dan sifat benarnya terpisah dari perintah Allah. Dia memerintahkan kita untuk melakukan sesuatu yang benar lantaran memang benar adanya, berdasarkan landasan objektif, bukan pada perintah Allah (Oliver Leaman, 1999).

Saya agak susah menjelaskan hal ini dengan penjabaran, namun saya akan mencobanya dengan contoh seperti ini. misal ada orang shaleh yang senantiasa taat kepada Allah, menurut Mu’tazilah orang shalih tersebut akan diberikan pahala kepada Allah. Pasalnya ketika Allah tidak membalasnya dengan pahala, berarti Allah telah berbuat zalim. Begitu pun sebaliknya bagi orang jahat, maka ia akan diganjar oleh Allah dengan dosa. Artinya Allah tidak mempunyai pilihan lain kecuali mengganjarnya kelak di akhirat atas semua hal yang telah dilakukannya di dunia.

Akan tetapi menurut Asy’ariyah, Allah mampu melakukan apa saja yang Dia sukai. Bisa saja Dia menyiksa orang yang tidak berdosa dan member pahala orang yang berdosa. Bukankah ini berarti Dia Zhalim? Tidak, Jawab mereka. Karena semua tindakan Allah pastilah adil per defenisi. Makna keadilan adalah tindakan yang dilakukan Allah (Oliver Leaman, 1999).

Kalimat di atas cukup memeras otak kita untuk berpikir ya. Hehe. Saya pribadi pun belum terlalu yakin dapat memahami pemikiran dan pandangan di atas. Tapi sebagai individu, saya harus mengambil posisi dimana letak diri berpijak. Begitu pun dengan anda. Saya meyakini bahwa Allah memiliki otoritas terhadap segala kejadian. Dan pemikiranku lebih condong menyepakati subjektivisme etika. Bahwa patokan dan tolak ukur suatu sikap dikatakan atau dinilai baik adalah kesesuaian terhadap perintah Allah.

Jadi, pengambilan sikap terbaik dalam menghadapi sebuah masalah, menurutku adalah dengan melakukan apa yang diperintahkan Allah dalam al-Quran dan dicontohkan Rasulullah dalam kehidupan beliau. Waalahu a’lam bisshowab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Reflexion Time : Setelah Setahun Bekerja

Goes To Bali & Lombok | It's Started

Touring Sulawesi Selatan (Part 1)