meniLai orang


Sebagai manusia, kita tidak dapat melihat apa yang ada di dalam hati manusia lain, termasuk motif dan kadar keikhlasannya. Kita hanya dapat melihat lalu menilai apa yang tampak. Karena kita akan kesulitan bila menanyakan apa yang ada di dalam hati setiap orang yang kita ketemui. Bila tidak salah ada kaidah yang dipegang para ulama yaitu “kita memutuskan apa yang tampak sedangkan hal yang tersembunyi kita serahkan kepada Allah”.


Sebagai contoh untuk pertanyaan: seseorang yang tampak bagi kita sebagai non-Muslim namun hatinya menyembunyikan keimanan, seseorang yang terlihat telah murtad karena di iming-imingi pengobatan atau sesuatu. Melihat contoh di atas kita tidak dapat membelah dadanya, ia terpaksa ataupun tidak dan apa pula motifnya. Kita sebagai awam hanya dapat melihat “Oh, dia non-Muslim..”

Yang ingin saya tanyakan apakah kita berdosa bila kita memperlakukan mereka sebagaimana apa yang terlihat oleh kita?

Wahib Mu’thi:
Menilai orang [taqwim] diperbolehkan oleh Islam, tapi dengan tujuan positif, misalnya penilaian untuk calon pegawai atau calon pemimpin, atau menilai untuk tujuan persahabatan/pertemanan. Menilai orang memang gampang-gampang susah. Apalagi kalau kita baru saja mengenalnya. Yang jadi pertanyaan Anda, apakah dosa bila memperlakukan mereka sebagaimana apa yang terlihat oleh kita? Sayang Anda kurang jelas yang dimaksudkan ‘memperlakukan’ mereka itu kongkretnya seperti apa. Apakah Anda menilai dari luar seseorang bahwa seorang non-Muslim? Atau malah sebaliknya?

Masalah dosa atau tidak, hanya Allah Yang Maha Tahu. Terkadang kita juga tidak tahu, apakah yang kita perbuat menurut kita benar, belum tentu baik menurut Allah. Demikian juga sebaliknya. Dalam konteks kehidupan Islam, kita mengenal istilah ‘husnuzhan’ [berprasangka baik] dan ‘su’uzh-zhan’ [berprasangka buruk]. Nah, jika Anda bertemu dengan orang yang menurut Anda kelihatan non-Muslim, sebaiknya jangan terlalu dipersoalkan. Yang penting, apakah dia itu bersikap baik atau tidak dalam pergaulan. Bukankah Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain” [QS al-Hujûrat [49]: 12].

Makna ‘berprasangka’ dalam ayat tersebut adalah berprasangka buruk ‘su’uzh-zhan’. Maka berprasangka seperti itulah yang harus dihindari, termasuk dalam bersosialisasi. Dalam ajaran Islam, bersosialisasi dengan siapa pun dibenarkan, asalkan kita tetap bisa menjaga kekuatan iman.

Rasulullah Saw bersabda, dari Asma’ binti Abu Bakar, ia bertanya; “Aku kedatangan ibuku sedangkan dia masih musyrik di masa kaum Quraisy menjalin perjanjian dengan kaum Muslimin. Lalu aku bertanya kepada Nabi Saw. Aku tanyakan, ‘Wahai Rasulullah, aku kedatangan ibuku sedangkan dia ingin bertemu denganku, apakah aku boleh menyambung hubungan dengan ibuku?’ Beliau menjawab, ‘Ya, hubungilah ibumu’” [HR Muslim]. Demikianlah wallâhu a‘lam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Reflexion Time : Setelah Setahun Bekerja

Goes To Bali & Lombok | It's Started

Touring Sulawesi Selatan (Part 1)